Terima Kasih Sofia


         Ia pandangi seorang anak kecil yang tergeletak di jalan itu. Ia tak memekik ataupun berteriak, tapi sungai kecil yang mengalir di pipinya amatlah deras.
            Anak kecil yang tergeletak itu adalah adiknya. Yang sekarang telah ia ketahui sudah tak bernyawa. Warna merah menyelimuti anak kecil itu. Anak kecil yang malang, tak berdosa, namun merasakan hantaman peluru, dentuman bom yang dihujamkan di tiap harinya, dan betapa pedihnya kehilangan ayah ibu.
            Sedang dari kejauhan, para tentara itu pergi meninggalkan kami. Sebelumnya aku melihat mereka nampak senang dengan membunuh bocah malang itu. Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Tidakkah mereka membayangkan jika anak malang itu adalah anak mereka, atau keponakan kesayangan mereka, atau adik mereka, atau apalah yang mereka sayang?
            Aku bangga karna aku, meski tak memiliki agama, masih punya moral sehingga aku pantang untuk mengambil Hak Asasi orang lain. Atas dasar menghargai, menghormati, toleransi. Ya, itulah yang selama ini aku pegang. Sedangkan mereka? Mereka punya agama namun seolah tak memiliki belas kasih. Apakah Tuhan mereka mengajari hal yang seperti ini?
            “Clara, ayo kembali ke camp. Aku tak mungkin menggendong adikku sendirian” ucapnya dengan isakan tangis.
            “Ha? Ya, ya, ayo” lamunanku buyar. “Bersabarlah Sofia” ucapku dalam hati, aku turut berduka cita.
***
                        Pasca kepergian adiknya, aku tak pernah mendengar tangisnya lagi. Hari-hari kembali seperti biasanya. Tetap tersenyum ramah pada setiap orang. Suatu saat ketika kami tengah membereskan peralatan medis usai menangani korban pemboman sebuah masjid-tempat ibadah mereka-, aku menanyainya “apa sich rahasia ketegaranmu?”. Dengan singkat ia menjawab “Innalillahi wa inna ilayhi roji’un, sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepadanyalah kita kembali” sambil tersenyum. Milik Allah? Kembali kepada-Nya? Siapa Dia?
            Aku tak seperti mereka yang setiap hari wajib melaksanakan ritual yang mereka sebut ‘sholat’ lima kali. Kata mereka itulah salah satu media mereka untuk mengadu pada Tuhan mereka. Atau ritual puasa di bulan yang mereka namai ‘ramadhan’. Aku hanyalah seorang perawat yang datang ke sini atas nama misi kemanusiaan. Berita yang kudapat dari jejaringan social memanggilku untuk membantu mereka. Karna aku percaya bahwa tiap orang punya hak asasi.
            Aku memang Atheis, aku tidak percaya pada Tuhan mereka. Tuhan manapun itu. Jujur, aku sudah putus asa mencari keberadaanNya, kalau memang ada. Semua agama yang kukenal, huh, sama saja. Tapi untuk berempati pada Palestina, tak dibutuhkan beriman pada Tuhan mereka, kita hanya butuh identitas kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
            Aku heran pada masyarakat dunia, banyak juga yang setuju atas tindakan Israel. Kata mereka ini pantas untuk orang Islam. Apalagi phobia mereka semakin meningkat pasca 9/11, hancurnya menara kembar WTC, hasil karya Osamah Bin Laden Sang Teroris.
            Ada pertanyaan yang muncul di benakku, untuk apa membombardir Palestina? Padahal yang menghancurkan gedung Negara Amerika itu hanya segelintir orang. Mungkin mereka akan menyanggah, karna agama mereka mengajarkan ‘ilmu teror’. Bagiku, entahlah, aku kesini hanya untuk misi kemanusiaan. Hanya itu, tidak lebih.
***
            “Halo” sapa orang di seberang.
            “Hai?” aku ragu dengan nomor asing yang menelponku.
            “Clara, bagaimana kabarmu? Tidakkah kau ingin kembali? Mama menunggumu di sini”
            “Siapa ini?” tanyaku.
            “Tidakkah engkau mengenal suaraku? Aku Daniel!”
            Oh, ternyata yang berbicara adalah kakak semata wayangku. Kami hanya dua bersaudara. Dan kami tinggal hanya bersama mama, ayahku telah pergi saat aku masih umur 6 tahun sedangkan kakakku menduduki bangku kelas 3 di elementary school.
            “Oh Daniel,, I’m so sorry, di sini sangat bising”
            “Apa yang terjadi?”
            “Tidak terjadi apa-apa, hanya saja mereka sedang membaca al Qur’an”
            “Mereka? siapa? Al qur’an? What’s that?” tanyanya heran.
            “Itu, orang-orang Palestina. Al Qur’an itu kitab suci mereka, sama seperti injil milik kaum Nasrani atau Tripitaka milik penganut Hindu”
            “Wah! Kau seperti agamawan saja. Jangan sampai kau terpengaruh oleh mereka. Sampai sekarang aku masih sering bertanya-tanya. Apa motivasimu ke sana?”
            “Mmm… aku hanya ingin membantu, apakah dilarang?”
            “Kamu seolah lupa penyebab kematian ayah!”
            “Tidak! Sampai sekarangpun masih lekat dalam memoriku. Itu sudah 14 tahun lalu”
            “Tapi sampai sekarang aku tak memaafkan mereka. Mereka pantas menerimanya!”
            “Siapa?”
            “Orang yang telah kau beri belas kasihan itu!”
            “Orang-orang Palestina maksudmu? Tidak! Perang ini tidak adil. Israel memborbardir Palestina sedangkan senjata Palestina amat jauh jika dibandingkan dengan Israel. Palestina berbeda dengan Osamah”
            “Kenapa kau membela mereka? Kau tak ada bedanya dengan para fundamentalis radikal! Sadar! Ayah adalah salah satu korban dari Osamah! Dan kau membela mereka?! Apa karna Osamah berasal dari Lebanon? Ya, tapi mereka sama-sama memeluk agama para ekstremis!”
            “Tidak, Dan” aku menghela napas. Aku coba mengalihkan pembahasan. “O iya, bagaimana kabar Mama dan jobmu? Kapan kau akan terjun?” aku mencoba menyuarakan nada ramah. Semoga amarah Daniel reda, harapku.
            Di seberang tak ada jawaban, namun telpon belum terputus. Lama, mungkin ia mencoba menenangkan diri. Seharusnya komunikasi ini menjadi media pelepas rindu, namun, ya, berujung pada perdebatan sengit.
            “Aku hanya akan tinggal menunggu pengumuman, apakah aku akan dikirim ke Afghanistan, Iraq, atau bahkan Palesina”
            “Mmm” ya, ya, Daniel adalah seorang tentara.
            “Aku takut”
            “Apa yang perlu kau takuti? Dasar lelaki berhati Barbie! Haha. Bukankah itu adalah cita-cita masa kecilmu dan kau, kau telah mewujudkannya!”
            “Aku memang bangga,” ia menyetop mulutnya untuk berbicara, terdengar ragu untuk mengatakan sesuatu, “Aku takut kita terpisah di kubu yang berbeda”
            “Maksudmu?”
            “Aku atas Amerika, dan kau atas nama Palestina”
            “Aku sudah bilang, itu mustahil. Aku hanya pembantu medis di sini”
            “Entahlah, Ok, akan kututup telpon karena setelah ini aku ada janji bertemu teman”
            “Baiklah tapi jangan lupa mengatakan pada mama ‘I love Mommy, so much!’ Bye…” aku menutup telfon. Lega rasanya bercakap-cakap dengan Daniel setelah lama tak ada kontak.
            Sofia memasuki bilik sambil membawa sepiring makanan sederhana. Lalu menyuguhkannya padaku. Aku tersenyum. Kemudia ia meletakkannya di atas lantai seraya mendaratkan tubuhnya di kasur tak berdipan yang sekarang menjadi tempat tidurku.
            “Makanlah makanan sederhana ini” ucapnya rendah hati. “Pasti, makanan di rumahmu jauh lebih baik, lebih bernutrisi dan bergizi dari kami”
            “Belum tentu, justru aku sering memakan makanan cepat saji bersama teman-temanku” sanggahku. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi Aku takut menyinggung perasaannya.
            “Bagaimana kabar Mamamu di Amerika? Juga kakakmu yang sering kau ceritakan itu?”
            “Ya, baik.”
            “Mmm… apakah di sana damai?” tanyanya kemudian. Ah, damai? Kurasa tidak juga. “Damai? Entahlah. Namun jika kau bertanya apakah di sana ramai,, ya” aku tersenyum, diapun tersenyum juga.
            “Sofia, sampai kapan kau akan bertahan di sini? Apa kau tidak tidak tertarik untuk migran ke Negara lain yang lebih aman?” yah, akhirnya pertanyaan itu meluncur.
            “Kau juga. Jika aku pergi, siapa yang akan menjaga mereka? Meski di sini, aku tak memiliki kerabat lagi, tapi, aku masih punya saudara” ucapnya mantap sambil tersenyum.
            “Maksudmu?”
            “Ya, secara biologis kami tak dilahirkan dari ibu yang sama tapi, kami punya Tuhan yang sama, tiada yang patut disembah kecuali Dia, kami punya kitab suci yang sama, kiblat kami sama, itulah yang menyatukan kami” ia berhenti sejenak, “Aku percaya pada Nabi kami Muhammad sang manusia agung, pembawa wahyu yang diamanahkan Allah untuk di sampaikan pada umatnya, mukjizatnya adalah al Qur’an, I believe, aku beriman, aku percaya” ia terdiam untuk selang waktu yang lumayan lama.
            “Sebentar, jangan lanjutkan dulu kata-katamu, aku berusaha mencerna perkataanmu. Tunggu, tunggu sebentar. Aku tahu Muhammad, katamu dia adalah nabi, seorang utusan, benar? Juga Allah, Tuhanmu Yang Maha Esa, benar? Kemudian al Qur’an, kitab sucimu, benar?”
            “Ya” jawabnya singkat.
            “Bagaimana kau bisa percaya? Aku tahu sedikit tentang Muhammad, aku pernah membaca biografinya di buku karanganan Michael Hart di perpustakaan kampus. Aku tahu sejarah, dari masa Mesopotamia sampai perang dunia. Dan dia memang sosok berpengaruh pengaruh. Kuakui dia memang luar biasa. Kupikir, itu karna dia cerdas” ungkapku.
“Namun, bagaimana dengan Tuhanmu? Bagaimana kau bisa percaya bahwa Dia ada? Kau tidak dapat melihatNya tapi kau percaya eksistensiNya?” lanjutku.
            Ia tersenyum “Segala sesuatu pasti memiliki pencipta. Seperti bangunan yang kita tempati saat ini, dia tidak ada begitu saja, pasti ada penciptanya. Begitu pula alam semesta dan manusia, juga hidup” ia memandangku “Sesuatu yang tak Nampak, belum tentu tidak ada”
            Aku menggeleng tanda tak setuju. “Tapi menurut teori Big Bang, alam semesta itu terbentuk di sebabkan dentuman besar”
            “Dan bila direnungkan kembali, apakah segala keserasian yang ada di bumi, itu ada dengan begitu saja? tanpa ada yang menciptakan, tanpa ada yang mengatur? Mustahil, Clara. Pasti ada, harus ada. Dan yang aku percayai adalah Allah” katanya.
            “Aku masih tak percaya” ucapku sambil tersenyum sinis.
            “Kau boleh tidak mengimani apa yang aku imani. Tak ada paksaan dalam agama. Bagimu agamamu, bagiku agamaku” katanya diplomatis.
            “Aku Atheis”
            “Oh? aku baru tahu” mungkin dia akan berkata dalam hati pantas saja aku tak pernah melihatmu beribada sebagaimana agama manapun.
            “Oke, oke. Boleh aku mencoba makan yang satu ini” aku mengalihkan pembicaraan.
            “Ya, ya, itu memang special untukmu. Hehe, special namun sangat sederhana bahkan ya… mmm”
            “Ah, tak perlu merendah. Bagiku ini jauh lebih baik, dari pada aku menjadi gelandangan di Amerika sana” aku tertawa diikuti tawa renyahnya. “Oh iya, atas dalih apa kau bilang semua umat islam adalah saudaramu?” tanyaku lagi.
            “Ya, dalam al Qur’an, Allah berfirman “Sesungguhnya kaum muslimin itu bersaudara, maka perbaikilah perselisihan yang ada di antara saudaramu dan bertaqwalah pada Allah agar kamu mendapat rahmat” al hujurat ayat 10”
            “Owh,, Tapi kenap mereka hanya diam saja ketika mendengar kabar tentang kalian yang sedemikian rupa di sini? Hanya berkoar-koar lewat media social, ada juga yang turun ke jalan. Itu tidak cukup khan? Seharusnya, kalau memang mereka peduli, mereka harus ke sini” aku berhenti sejenak “Juga, eee… Tuhanmu? Apakah dia tidak mampu memusnahkan musuhmu?”
            “Ya, aku kadang prihatin kenapa mereka begitu nampak tak peduli. Bisa jadi, di Negara mereka masing-masing, mereka sibuk dengan keluarga mereka, harta mereka, ya, mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mereka menjelma jadi manusia individualis dan apatis, padahal dalam agama kami, tidak ada tempat bagi orang apatis dan individualis. Nabi kami mengibaratkan kami sebagai satu tubuh, bila demam, maka tangan akan bergerak untuk mencarikan obat” ia berhenti agak lama.
            “Dan sekarang?” Tanyaku ingin segera tahu kelanjutannya.
            “Tidak semua seperti itu” dia menatapku dengan mata berkaca-kaca namun peuh keyakinan. “Mereka ada yang datang jauh-jauh ke sini untuk membantu mujahid kami, tapi ada juga yang tanpa lelah berjuang di Negara mereka masing-masing untuk kami”
            “Contohnya?”
            “Apa kau tahu NIC?”
            “Ya, tentu”
            “Mereka memprediksi bahwa di tahun 2020 akan ada tiga kekuatan ekonomi global yang akan mendominsi dunia, India, Cina, dan…”
            “Islam?”
            “Ya” jawabnya bangga. “Bagaimana menurutmu jika kau melihat kondisi kami, Palestina? Mustahil?”
            “Ya” tapi kupikir analisis dan prediksi NIC sangat minim kemungkinan untuk salah.
            “Aku yakin, sebenarnya mereka tidak diam. Mereka berjuang di sana. Bahkan tak jarang yang mendapatkan intimidasi. Kami di sini perang dengan fisik kami, namun di sana mereka berperang dengan pemikiran”
            “Aku agak tidak mengerti. Apa yang mereka perjuangkan?”
            “Katamu kau pernah membaca sejarah dari Mesopotamia hingga perang dunia. Kuharap kau mendapatkannya dari sumber objektif”
            “Tentu”
            “Kau masih ingat, perbandingan antara Eropa dan Timur Tengah di abad pertengahan?”
            “Kuakui, sebagai orang Amerika, sebenarnya aku malu jika mengingat sejarah kelam itu, darkness age”
            “Nah, saudara-saudaraku di sana memperjuangkan kehidupan yang seperti itu. Agar Islam dan kaum Muslimin jaya seperti sedia kala. Menjadi mercusuar perdaban jauh di atas Eropa, yang kini seolah lupa pada jasa islam atas mereka”
            “Ya”
            “Silahkan tunggu tanggal mainnya. Khilafah ‘kan tegak kembali” “Atas kehendak Tuhanku yang Maha Kuasa, yang kau kira tak berdaya, dia akan tegak kembali jika kami-kaum muslimin- telah siap!” jawabnya mantap.
            Khilafah? Makhluk apa itu?
***
            Waktu berjalan amat cepat tanpa kusadari. 1 tahun berlalu, dan aku belum menginjakkan kaki di rumahku kembali. Setelah sekian diskusi telah kulakukan bersama Sofia, akhirnya ia berhasil menghantarkan hidayah Allah padaku. Mungkin mama & Daniel akan kaget seusai tahu aku telah convert ke islam. Kuyakin Daniel akan marah besar, dan mengataiku ekstrimis, radikal, bahkan teroris.
Biarlah. Satu-satunya harapku saat ini, membawa mereka mengenal cahaya islam, sama seperti diriku. Kuharap Allah masih memberiku kesempatan untuk bertemu mereka, hingga aku bisa menarik mereka dari panasnya jahannam yang telah Allah sediakan bagi kaum kuffar.
Oh iya, kuingat itu bukan satu-satunya, ada lagi ternyata.
Allah, perkenankanlah aku merasakan peradaban agung itu. Seperti apa yang telah dirasakan Shalahuddin dan Muhammad al Fatih. Peradaban Khilafah yang bukan hanya dirasa indah dalam buku sejarah. Namun, aku ingin benar-benar merasakannya. Meskipun, akan lebih terasa sulit karena aku mungkin hidup di fase-fase awalnya. Ketika ia dipandang sebelah mata, karena kehebatannya saja yang belum nampak.
Terima kasih, Sofia, karena kau dengan sabar meladeni tiap pertanyaanku. Hingga akhirnya, aku menjadi seorang muslimah. Kini, aku adalah saudarimu, seperti muslimah di belahan dunia lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

Dream

LIRIK NASYID : Antara 2 Cinta

A Poem : Khilafah The Sleeping Giant